04 July 2014

Kedokteran Bukan Lagi Satu-Satunya Sandaran Pengobatan

Saya sedikit kebingungan dalam membuat judul di atas, kenapa? karena saya coba cari judul yang tepat ternyata belum ketemu. tapi mari kita coba bahas apa maksud dari judul "Kedokteran bukan lagi menjadi satu-satunya sandaran atau monopoli pengobatan".

Teman seangkatan saya waktu kuliah dengan fakultas yang berbeda telah menjadi seorang dokter spesialist terkenal di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta sedangkan saya hanya magister saja (itupun rebutan biaya sama sang mantan kekasih) dan berharap tahun ini ada rejeki untuk ambil jenjang lebih tinggi. Kami sering berdiskusi jarak jauh karena dia sedang belajar untuk konsentrasi teknologi kedokteran di salah satu universitas di USA.

Dia cerita, setelah selama 6 bulan pertama menyelesaikan sejenis matrikulasi, semua mahasiswa dari negara-negara yang memiliki sejarah pengobatan non-medis disuruh kembali ke negaranya masing-masing untuk mempelajari sistem pengobatan bukan medis yang tentunya memiliki ciri dan cara tersendiri di setiap negara selama 3 hingga 4 bulan lamanya.

Pengobatan di setiap negara meiliki cara yang berbeda seperti, di china, kita kenal dengan sinshe, arab dennan "tabib" nya, indonesia dengan dukun-nya, afrika dengan voodoo-nya dan lain-lain.

Kebetulan teman saya tersebut bercerita pada saya bahwa dia harus mempresentasikan hasil pengamatannya dalam bentuk makalah. Saya bertanya, " untuk apa manfaatnya?"

lalu, "Kan teknologi kedokteran di amerika sudah sangat maju, untuk apalagi harus mempelajari cara pengobatan konvesional, aneh, kuno, tahayul, tidak ilmiah, juga bukankah bertentangan dengan kaidah-kaidah kedokteran?"

Justru karena alasan itulah, maka menjadi penting untuk dipelajari. Karena jauh sebelum dunia kedokteran itu lahir, dunia pengobatan kuno sudah mampu menjawab bagaimana mengobati suatu penyakit.

Sang profesor (dosennya temen saya itu) menganggap bahwa dunia kedokteran bukanlah satu-satunya tumpuan bagi orang-orang yang mencari kesembuhan. Banyak hal yang oleh dunia kedokteran tidak bisa terjawab. Dunia kedokteran sering kali terlambat menemukan obat untuk suatu penyakit.

Dunia kedokteran tidak serba mampu menjawab perkembangan penyakit, apalagi kalau kita hubungkan dengan sebuah dalil (sekalipun banyak pihak yang menyatakan ini bid'ah). Dalil saya ambil dari kitab Mujarabat dan di akhir bab 18 sebagai berikut.

فائدة أخرى: ذكر بعض العارفين – من أهل الكشف والتمكين – أنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات، وكل ذلك في يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب أيام السنة كلها، فمن صلّى في ذلك اليوم أربع ركعات إلخ. فونفا ساهى فونفا أوون ؟ يعنى سنة فونفا حرام ؟ أفتونا أثابكم الله ؟.

Artinya: Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan: setiap tahun, turun 320.000 bala/penyakit. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu 4 rakaat dst.”.

Dalam hal ini saya anggap sebagai pengandaian untuk ilustrasi bahwa, munculnya penyakit tidak serta merta diikuti penemuan akan obatnya, karena keterbatasan kemampuan manusia dan keterbatasan iptek yang dipunyai dunia medis.

Dalam setiap tahunnya penemuan obat untuk penyakit baru bisa dihitung dengan jari, sedangkan turunnya penyakit (maaf - andaikata dalil itu benar) begitu deras maka jelas dunia kedokteran akan kedodoran, artinya media kedokteran tidak lagi bisa diharapkan sepenuhnya.

Maka media pengobatan alternatif memberikan harapan baru untuk mengungkap misteri beribu-ribu penyakit yang turun setiap tahunnya. Artinya, akan saling bahu membahu antara dunia kedokteran dengan dunia pengobatan alternatif

Berangkat dari asumsi seperti ini maka sang professor tersebut mencoba menggali metode yang dianggap ekstrem sekalipun, tujuan mencoba men-sinergikan antara dunia kedokteran dengan dunia alternatif.

Di Indonesia hingga berakhirnya rezim orde baru, metode seperti itu dianggap nyeleneh alias keluar dari kaidah-kaidah kedokteran. Salah satu kasusnya adalah kasus dicopotnya izin praktek Dr. Gunawan dan dipecatnya dari keanggotaan IDI karena telah menjadi ter-kun (dokter dukun). Dr. Gunawan meyakini melalui buli-buli (selentingan yang sempat heboh di era 1980-an) dapat memilihkan obat yang tepat untuk sang pasen, ini terjadi saat dokter Gunawan mengobati Wapres Adam Malik (almarhum) - silahkan baca tentang Dr. gunawan selengkapnya klik disini .

Namun jaman rupanya mulai keberpihakan kepada media pegobatan alternatif, terbukti di era reformasi ini, banyak dokter yang bersinergi dengan dukun. Artinya adanya pengakuan dari sebagian kalangan medis meskipun tidak secara formal oleh lembaga berwenang IDI.

Hal ini pula menyiratkan adanya pengakuan bahwa dunia kedokteran bukan lagi satu-satunya tempat para pasien untuk mencari kesembuhan.

Tidak bermaksud untuk mendiskreditkan dunia kedokteran, karena dunia kedokteran adalah lembaga yang jelas asbabun nuzul (asal-usulnya), jelas ilmunya, jelas referens-nya dan jelas kredibilitasnya. Namun tidak bisa pula kita abaikan sebuah kenyataan bahwa masyarakat banyak memilih cara pengobatan melalui media alternatif, baik dukun, tabib, sinshe bahkan herbalist.

Sebuah kenyataan bahwa dunia barat pun mulai melirik media lain selain media kedokteran. Maka lembaga kedoketran kita pun kenapa tidak? selama itu untuk kemaslahat masyarakat dalam rangka menuju Indonesia sehat.

Untuk informasi lebih lengkap:

Artikel Terkait

.comment-content a {display: auto;}